Terbentur Hingga Terbentuk
Sebelumnya, sudah sangat terlambat mungkin berbagi kisah ini. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tidak bisa dipungkiri, akhir-akhir ini terlintas untuk mulai menulis jujur berdasarkan isi hati dan pengalaman pribadi. Saya yang sedikit tidak percaya diri ini akhirnya memberanikan diri menjawab tantangan dari seseorang yang dihormati. Terima kasih telah mengumpulkan kembali jiwa literasi yang nyaris mati.
Kisah ini tentang sebuah kegagalan. Dimana ini merupakan kegagalan pertama dalam hidup saya. Diusia sekitar 16 tahun, saya sedang antusiasnya berlomba memilih Perguruan Tinggi Negeri favorit dengan berbagai harapan dan rencana yang tersusun apik. Niat hati ingin sekali kuliah di luar kota Medan yang menjadi kota asal saya. Namun dibeberapa pihak ada yang tidak memberikan restunya, termasuk orang tua. Alhasil mulai mencari opsi kampus di Medan yang saya jatuhkan pilihan saya pada kampus Universitas Sumatera Utara (USU) dengan memilih jurusan Sastra Arab melalui jalur SNMPTN dan dinyatakan tidak lulus. Jangan tanya gimana perasaan saya kala itu. Kenyataan tersulit yang pernah saya terima. Saya cukup percaya diri akan lulus karena mengira SNMPTN adalah jalur undangan alias tanpa tes tertulis yang penilaiannya dilihat berdasarkan nilai-nilai dirapor selama 6 semester di Man. Meskipun saya sadar, tidak selamanya teori itu berlaku.
Belum pulih atas kegagalan SNMPTN, dengan setengah hati saya mengikuti jalur kedua yaitu SBMPTN. Jujur sejujur jujurnya saya nggak pernah membayangkan sebelumnya akan mengikuti tes tertulis ini. Begitupun, untuk mengobati sakitnya gagal jalur undangan saya berupaya semaksimal mungkin agar lulus jalur kedua dengan belajar sendiri, bareng teman, tentor, guru privat, tanya senior sana sini dan segala bentuk usaha lainnya. Dijalur SBMPTN ini saya mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNIMED. Dan lagi untuk kali kedua hasilnya sangat diluar ekspektasi. Saya gagal (lagi). Belum sembuh sakitnya gagal jalur undangan, kini ditambah lagi dengan jalur tes tertulis. Saya merasa semesta sedang bercanda saat itu. Sesakit itu usaha dan segala juang saya dipermainkan. Itu ujian terberat selama 16 tahun saya hidup. Ditambah sehari sebelumnya saya dibuat kecewa sama manusia yang saya elukan sejak masuk Man. Allah menampar saya bertubi-tubi di Bulan Suci tahun 2016 silam. Ya, saat itu tepat pada Bulan Ramadhan dunia saya seakan berhenti. Saya berkali kali berusaha berpijak secara utuh, tapi tetap tak seimbang. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itu nyata. Setiap saya bangun untuk sahur, rasanya masih saja seperti mimpi dan saya kehilangan gairah untuk melaksanakan ibadah-ibadah di Bulan Penuh Berkah itu. Berulang kali menyadarkan diri; “Ini nyata, Ratih. Ini nyata!” Perlu satu bulan lebih saya memulihkan diri dengan berdiam diri dikamar, berdialog dengan Allah, dan bermonolog dengan diri sendiri.
Dan pada akhirnya saya memutuskan untuk rehat karena sama sekali tidak mempersiapkan alternatif kampus dan jalur lain yang masih bisa ditempuh. Saya musyawarah dengan orang tua yang selama saya depresi, mereka mencurahkan segalanya untuk saya. Perlu diketahui untuk berhadapan dengan mereka saya seperti nggak punya muka. Saya kecewa dengan diri sendiri, dan kekecewaan itu berlipat ganda saat saya berpikir gagalnya saya itu pasti membuat mereka lebih merasa kecewa. Saya nggak bisa buat mereka bangga. Kiranya begitulah pikiran sempit saya dulu. Dan diambillah keputusan saya menunda kuliah selama setahun demi pemulihan lahir dan bathin, karena jika dipaksa otak saya saat itu tidak dapat beroperasi sepenuhnya dengan benar untuk mengikuti tes demi tes pada jalur mandiri atau sebagainya.
Setahun menganggur saya habiskan waktu enam bulan di Medan dan enam bulan di Riau. Dalam setahun itu pula saya belajar banyak arti kehidupan. Mulai dari arti sabar, ikhlas, tawakkal, mencintai diri sendiri, pengorbanan, perjuangan dan mendidik dari hati. Pada masa itulah saya mulai menapaki jejak menjadi guru privat murid SD. Mulai mengikuti arus, saya menikmati profesi baru saya. Menghasilkan uang sendiri yang saat itu melebihi guru honor dengan hanya 3 kali pertemuan dalam seminggu. Bahagia dan bangga rasanya. Lalu, dengan berat hati saya harus meninggalkan Medan dan tentunya juga murid-murid saya karena harus memenuhi perintah orang tua agar saya berangkat ke Riau saat itu. Ternyata Abah (panggilan ayah saya) telah menyiapkan semua keperluan keberangkatan saya. Bahkan tanpa disangka, disana saya juga akan mengajar privat seperti di Medan. Jadi bukan tanpa alasan Abah dan Ummi menyuruh saya tinggal bersama mereka disana.
Luar biasanya Riau mungkin tidak bisa saya utarakan sekarang disini. Yang jelas, Riau salah satu elemen penting yang terlibat dalam proses terbentuknya saya menjadi manusia seutuhnya. Hingga sampai dititik ini, saya kilas balik jalan kehidupan yang pernah saya lalui. Karena hidup di Riau bukan perkara mudah, saya dan keluarga disayang Allah dengan sangat karena adanya ujian demi ujian yang menguatkan. Bersyukur tiada henti atas terbenturnya saya berkali-kali dalam hidup. Karena terbentur saya menjadi terbentuk. Terima kasih Allah dan alam semesta beserta isinya. Saya bermetamorfosa dengan cara yang indah menurut-Nya.
“Kegagalan menyadarkan saya bahwa sesuatu yang kita capai tidak selamanya menuai kebahagiaan. Kegagalan yang menghancurkan segalanya, suatu saat akan mengagumkan melalui cara-Nya.”
Terima kasih telah membaca. Sekali lagi, kisah ini benar nyata!